Sejarah Jawa tengah
Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1950, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten), yakni Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Pati Gewest juga meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan dibentuk dewan daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu Pekalongan, Pati, Semarang, Banyumas, dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 Pemerintah membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui undang-undang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kota madya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kota madya. Penetapan undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.
Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545 kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan.
Sebelum tahun 2001, Pemerintahan Daerah Jawa Tengah juga terdiri atas 3 kota administratif, yaitu Kota Purwokerto, Kota Cilacap, dan Kota Klaten. Namun sejak diberlakukannya otonomi daerah, kota-kota administratif tersebut dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten.
Menyusul otonomi daerah, 3 kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid), Kabupaten Tegal (dari Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari Kota Pekalongan ke Kajen).
Sebelum Semarang menjadi ibukota Provinsi Jawa Tengah ternyata Purworejo telah menjadi ibukota Provinsi Jawa Tengah sementara untuk menghindari dari pasukan Belanda kala itu. Tepatnya di Kecamatan Bruno dua desa yang terpilih menjadi pusat perekonomian sementara di yaitu Desa Giyombong dan Kambangan. Purworejo dipilih Ibu Kota sementara Indonesia karena letaknya yang strategis dan kontur tanah yang banyak sekali dikelilingi hutan. Kecamatan Bruno sendiri terletak pada wilayah paling utara yang berbatasan langsung dengan Wonosobo.
Sejarah mencatat bahwa, Kecamatan Bruno sendiri dahulu adalah tempat hutan belantara dan sangat sulit sekali di jangkau oleh manusia sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal ini lah menjadi alasan Pangeran Diponegoro untuk memanfaatkannya sebagai tempat berlindung dari kejaran pasukan belanda.
Daerah Hutan Lebat yang dikelilingi oleh pepohonan tinggi sangat sulit untuk dijangkau oleh pasukan belanda sehingga, jejak Pangeran Diponegoro tidak dapat dideteksi oleh pasukan belanda. Dari peristiwa itulah nama Bruno muncul dimana merupaka singkatan dari Bahasa Jawa Di Buru Ora Ono yang kalau di artikan dalam bahasa Indonesia yaitu di buru tidak ada. Dalama masa revolusi tahun 1945-1949 wilayah Bruno menjadi markas persembunyian para pejuang kemerdekaan karena pada masa itu Semarang dikuasai oleh Belanda.
Desa Kembangan terletak sangat jauh dengan Kecamatan Bruno dan letaknya jauh diatas pegunungan yang sulit dijangkau oleh kendaraan umum. Gubernur Jawa Tengah kala itu KRT Wongsonagoro menjalankan pemerintahannya selama 100 hari. Dengan kata lain Ibukota Jawa Tengah pada masa itu berpindah sementara dari Semarang ke Bruno. Selama menjalani roda pemerintahan KRT Wongsonagoro memboyong satu pleton pasukan khusus militer yang terdiri dari empat kompi.
Sedangkan untuk tempat tinggal sekaligus kantor pemerintahan dipusatkan di rumah salah satu seorang warga yang bernama Dul Wahid. Hingga sampai saat ini barang tersebut masih dirawat oleh penduduk setempat. Dalam buku yang berjudul Bunga Rampai Kisah-Kisah Kejuangan 45 yang disusun oleh Bapak Soekoso DM menceritakan kesaksian para pelaku sejarah perang kemerdekaan di Purworejo tersebut. Dalam isi buku bunga rampai disebutkan perjuangan Purworejo dan sebagainnya.
Tidak ada komentar: